Membangun Spirit Keberhasilan
Wednesday, 24 May 2017
Edit
Di sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa setiap insan di dorong oleh suatu keinginan untuk maju, untuk bertumbuh, untuk berkembang, untuk meraih apa yang dipahaminya sebagai kesempurnaan atau kesuksesan hidup. Dorongan untuk mencapai kesempurnaan atau kesuksesan hidup itu saya sebut sebagai spirit keberhasilan [the spirit of success], alasannya ialah ekonomis saya dorongan tersebut bersifat spiritual. Dan spirit keberhasilan itu ada dalam diri setiap anak insan sebagai menunjukan bahwa ia ialah mahluk spiritual, disamping tentu saja mahluk bio-sosio-psikologis.
Spirit keberhasilan ini sangat terang terlihat dalam diri belum dewasa batita-balita. Hampir tanpa pengecualian, belum dewasa batita-balita bicara ihwal keinginannya, ihwal cita-citanya, ihwal masa depannya. Dan hampir tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial ekonomi orangtuanya, belum dewasa itu berbicara ihwal hal-hal yang “besar”. Ada yang ingin jadi pilot, ada yang ingin jadi penyanyi terkenal, ada yang ingin jadi dokter, ada yang ingin jadi pengusaha kaya, ada yang ingin jadi insinyur, ada yang ingin jadi menteri, bahkan jadi presiden, dan sebagainya. Mereka ingin punya pakaian bagus, mainan yang banyak, rumah yang besar ibarat istana, kendaraan beroda empat yang serba bisa, bahkan pesawat udara, dan seterusnya. Mereka ingin menikah dengan puteri bagus atau pangeran tampan dari negeri seberang. Mereka berjanji akan membelikan orangtuanya sejumlah hal yang belum pernah dimiliki orangtuanya. Pergi ke bulan atau memetik bintang-bintang ialah soal-soal yang mereka anggap akan bisa mereka lakukan kelak, suatu hari nanti. Singkatnya, spirit keberhasilan telah membuatkan daya imajinasi belum dewasa batita-balita hingga pada tingkat yang amat mempesona.
Masalahnya kemudian, spirit keberhasilan ini perlahan-lahan meredup dalam diri sebagian besar belum dewasa yang beranjak remaja dan menjadi insan dewasa. Mereka mulai menghadapi banyak sekali problem dan kesulitan untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Lingkungan di mana belum dewasa itu dibesarkan, seakan-akan mengajarkan mereka untuk sekadar mengikuti keadaan dengan situasi yang ada, dan bukannya untuk berjuang mengaktualisasikan segenap potensi diri guna mengubah situasi yang ada biar menjadi lebih baik. Sedikitnya pemberian dari lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk dan terutama orangtua dan pengajar di sekolah, telah menciptakan banyak belum dewasa usia sekolah dasar mencar ilmu untuk merasa tak berdaya, tak yakin akan kemampuannya, dan tak boleh berpikir ihwal sesuatu yang besar lagi. Perlahan tapi pasti, belum dewasa yang merasa tak berdaya dan tak punya keyakinan diri itu mulai membuang jauh-jauh pikiran-pikiran besar dan keinginan terbaiknya. Dan bila perasaan tak berdaya ini berkembang terus, maka pada gilirannya ia akan melahirkan orang-orang yang pesimis memandang masa depannya.
Untunglah tidak semua belum dewasa kemudian kehilangan spirit keberhasilannya. Sebagian anak-anak, terutama yang terlatih dalam menghadapi banyak sekali kesulitan hidup di usia pra-remaja, tumbuh dan berkembang dengan keinginan besar yang membara untuk mengubah situasi dan kondisi hidupnya. Mereka terus mencari cara untuk mencapai yang terbaik. Mereka—dan orang-orang yang mendampingi mereka—percaya bahwa keberhasilan hanya akan diraih oleh orang-orang yang berani menetapkan tujuan-tujuannya dan kemudian bekerja keras terus menerus hingga mereka mencapainya. Mereka meninjau kemajuannya pada setiap langkah, dan merayakan keberhasilan pada tahap-tahap tertentu. Untuk tujuan-tujuan yang belum tercapai, mereka menarik pelajaran dari seluruh proses yang telah dilalui, dan mencari cara lain untuk kembali memulai perjuangan ke arah itu. Mereka merasa yakin akan kemampuan mereka, dan keyakinan itu melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan-gagasan yang lebih besar, gagasan-gagasan yang menciptakan mereka berangasan dalam setiap langkah mereka. Mereka selalu melihat adanya harapan, dan alasannya ialah itu mereka bermetamorfosis orang-orang yang optimis dalam menyongsong masa depan.
Jika setiap anak insan yang dilahirkan di muka bumi ini mempunyai spirit keberhasilan di dalam dirinya, kemudian bagaimana kita menjelaskan kenyataan di atas? Mengapa sejumlah masalah, kesulitan, dan tantangan hidup menciptakan belum dewasa tertentu bertumbuh menjadi orang-orang yang pesimis, sementara belum dewasa yang lainnya bermetamorfosis pribadi-pribadi yang optimis dalam memandang masa depan mereka? Mengapa, dikala diperhadapkan pada problem yang sama, kesulitan yang sama, tantangan yang sama, sejumlah orang bisa memperlihatkan respons yang berbeda-beda? Manakah yang menciptakan seseorang itu bisa menjadi pesimis atau optimis, tingkat kesulitan yang dihadapinya ATAU cara ia merespons kesulitan-kesulitan tersebut?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu, Carol Dweck, peneliti dari University of Illinois memperlihatkan bahwa belum dewasa yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat tetap [berkata pada dirinya “Saya bodoh”] mencar ilmu lebih sedikit dibanding dengan belum dewasa yang menganggap penyebab-penyebab kesulitan sebagai hal yang sifatnya sementara [”Saya tidak mencoba dengan sungguh-sungguh”]. Anak-anak yang merasa tidak berdaya memusatkan perhatian pada penyebab kegagalan—umumnya diri mereka sendiri—, sedangkan belum dewasa yang berorientasi pada penguasaan bahan memusatkan perhatiannya pada cara-cara untuk memperbaiki kegagalan. Anak-anak yang merasa tak berdaya, menghubungkan kegagalannya dengan kurangnya kemampuan [bersifat tetap], sementara rekan-rekan mereka mengaitkan kegagalannya dengan kurangnya perjuangan untuk itu [bersifat sementara].
Sejalan dengan penelitian Dweck, Martin Seligman dari University of Pennsylvania dan sejumlah peneliti lain di bidang psikologi kognitif dan pengembangan emosional, menegaskan bahwa yang menentukan pesimis atau optimisnya seseorang ialah referensi respons-nya terhadap suatu keadaan yang dianggap sebagai kesulitan/masalah. Pola respons memperlihatkan pada sikap yang sudah menjadi kebiasaan sebagai hasil pembelajaran dalam waktu tertentu. Mereka yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat permanen [”Ini tidak akan pernah berubah”], meluas [”Ini akan menghancurkan segala-galanya”], dan eksklusif [”Ini semua kesalahan saya”], memperlihatkan referensi respons yang pesimis. Mereka yang merespons kesulitan/masalah sebagai sesuatu yang bersifat sementara [”Ini akan berlalu/bisa diatasi”], terbatas [”Ini hanya dalam soal yang satu ini saja”], dan eksternal [”Ada sejumlah faktor yang menjadikan hal ini”], memperlihatkan respons yang optimis.
Lebih jauh, studi Seligman dan kawan-kawan memperlihatkan bahwa mereka yang mempunyai referensi respons pesimis hampir selalu dikalahkan oleh mereka yang mempunyai referensi respons optimis. Agen asuransi yang optimis menjual lebih banyak polis dibanding agen-agen yang pesimis, sekalipun mereka bahwasanya mempunyai potensi-potensi yang relatif setara bagusnya. Agen properti yang optimis menjual 250-320 persen lebih banyak dari distributor properti yang pesimis. Studi-studi lanjutan menunjukan konsistensi hal tersebut. Pelajar yang optimis mengungguli pelajar yang pesimis. Manajer yang optimis mengungguli manajer yang pesimis. Para kadet di West Point yang optimis mengungguli kadet-kadet yang pesimis. Tim-tim olahraga yang optimis menggungguli tim-tim olahraga yang pesimis. Rakyat cenderung menentukan pemimpin yang memperlihatkan optimisme ketimbang pesimisme. Bahkan terbukti pula bahwa mereka yang merespons kesulitan secara optimis mempunyai usia hidup lebih panjang daripada mereka yang merespons secara pesimis.
Apa yang paling menarik dari studi-studi Seligman dan kawan-kawannya ialah bahwa rasa tak berdaya ialah hasil pembelajaran. Sebaliknya rasa percaya diri, percaya pada kemampuan untuk mengubah atau mengendalikan suatu keadaan, juga merupakan hasil pembelajaran. Cara seseorang menjelaskan suatu insiden kepada dirinya [self talk], atau cara seseorang merespons suatu insiden yang menimpa dirinya, entah itu respons yang pesimis atau pun respons yang optimis, ialah hasil pembelajaran pula. Artinya, alasannya ialah semua itu merupakan referensi respons yang dibiasakan lewat proses pembelajaran, maka ia bisa tidak boleh dan diubah. Mereka yang sering merasa tak berdaya bisa mulai mencar ilmu untuk merasa berkemampuan. Mereka yang selama ini terbiasa memperlihatkan respons yang pesimis, bisa mulai mencar ilmu untuk memperlihatkan respons yang optimis. Sebab apa saja yang diperoleh dari hasil pembelajaran bisa tidak boleh dan diubah [unlearning], bila ia tidak mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi kehidupan kita.
Sesungguhnya, rasa tak berdaya dan respons pesimis bukanlah faktor nasib, bukan faktor yang kita warisi secara genetika dari orangtua dan nenek moyang, bukan faktor permanen ibarat sifat dasar [traits] yang tak bisa diubah. Demikian juga rasa berkemampuan, percaya diri, dan respons optimis bukanlah faktor keberuntungan, melainkan hasil adaptasi yang bisa mulai kita pelajari tahap demi tahap. Dan mencar ilmu untuk percaya pada kemampuan diri, mencar ilmu untuk memperlihatkan respons yang optimis terhadap kesulitan-kesulitan dalam hidup, ialah pelajaran yang penting dan semakin penting dalam konteks kehidupan masyarakat remaja ini. Bukan saja alasannya ialah kehidupan masyarakat remaja ini memperhadapkan kita pada kesulitan-kesulitan yang makin berat dan kompleks, tetapi terlebih lagi alasannya ialah hanya dengan rasa berdaya dan optimis kita bisa tetap menumbuhkan spirit keberhasilan dalam diri kita masing-masing. Rasa tak berdaya dan referensi respons yang pesimis akan menganiaya spirit keberhasilan yang merupakan karunia ilahi dalam diri setiap kita. Dan bila spirit keberhasilan ini terus teraniaya, maka kita akan menjalani hidup yang jauh dari potensi diri kita yang sesungguhnya. Hal yang terakhir ini harus mati-matian kita hindari, bukan?
*) Tulisan ini ialah satu cuilan dari 29 cuilan dalam buku best-seller “Mindset Therapy (Gramedia, 2010)”, karya ke-37 Andrias Harefa
Berbagai Sumber