Karakter Istri
Friday, 21 April 2017
Edit
Jika kita kenal huruf pasangan, dijamin konflik sanggup diminimalisir. Bukankah dengan kenal, kita bisa memahaminya, hingga solusi pun bisa ditemukan. Nah, menyerupai apa huruf istri Anda, silakan simak sejumlah huruf di bawah ini.
1. BOROS
Coba lihat bagaimana huruf orang tuanya. Soalnya, kata psikolog Raymond A.I. Tambunan dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, mereka yang boros biasanya dibesarkan dari orang renta yang boros pula. "Jadi, semenjak kecil memang sudah terbiasa dengan teladan hidup boros." Umumnya lebih impulsif, yakni tak bisa menunda keinginan. Bila menginginkan sesuatu, ia niscaya pribadi membelinya. "Bukankah dari orang tuanya, ia selalu mendapat pemenuhan atas setiap yang diinginkannya?"
Kendati demikian, teladan asuh bukan satu-satunya yang membentuk seseorang berkembang jadi si boros. Ada juga, kok, yang dulunya hidup miskin, tapi sesudah cukup umur jadi boros. "Kalau kini ia hidup bergelimang harta karena berhasil mencapai pendidikan tinggi hingga punya karir dan penghasilan bagus, tentunya apa pun yang ia inginkan bisa dibelinya dengan simpel hingga membentuknya jadi pribadi yang boros." Jadi, sikap borosnya lebih merupakan kompensasi masa kecilnya yang serba susah.
Tentu saja, si pemboros tak mengenal budaya menabung. Terlebih si boros yang merupakan "produk" dari orang renta boros. Di benaknya yang ada cuma bagaimana menghabiskan uang yang diperolehnya. Celaka, kan? Bisa-bisa tiap menjelang simpulan bulan suami harus ekstra cari pelengkap untuk menutupi kekurangan belanja. Atau, bisa jadi suami kemudian menjatah uang belanja per ahad atau malah per hari. Kalau sudah begitu, bakalan "perang", deh.
2. PELIT
Kayaknya huruf ini sudah menjadi semacam trade mark kaum ibu. Bukankah para ibu lebih suka berkeliling pasar menawar ke sana ke mari demi mendapatkan harga termurah? Orang luar boleh saja berkomentar, "Kok, mau beli gitu aja mesti dihitung-hitung banget? Berapa, sih, selisih harganya? Apa enggak capek buang-buang energi?"
Padahal, ibu-ibu model ini belum tentu pelit, lo. Siapa tahu ia cuma bermaksud hemat. Apalagi secara sosiologis, terang Raymond, ibu-ibu di negeri kita umumnya bertanggung jawab pegang keuangan keluarga, sementara suami bertugas mencari nafkah. "Nah, sebagai menejer keuangan keluarga, tentu ia harus pandai-pandai mengatur keuangan keluarganya, bukan? Itu sebab, perbedaan-perbedaan harga yang oleh orang luar dinilai sepele, bagi si ibu sangat berarti." Terlebih bila ia memperhitungkannya berdasarkan akumulasi atau penjumlahan. Coba, gimana jadinya bila belanja keluarga tekor? Ibu juga, kan, yang biasanya dituduh tak becus pegang uang? Sementara bapak dan anak biasanya enggak mau tahu. Mereka cuma tahu beres aaja karena tak mau kelewat njlimet memperhitungkan perbedaan-perbedaan harga tadi.
Makara kalau pelitnya dalam arti hemat, dipahami aja, deh, Pak. Ketimbang punya istri boros yang bisanya cuma menghambur-hamburkan uang melulu. Iya, kan? Apalagi, "biasanya huruf pelit yang hemat ini lebih dimunculkan oleh kondisi tertentu semisal terbiasa menjalani kehidupan serba susah dari sudut ekonomi, hingga ia harus menabung dulu untuk mendapatkan yang diinginkannya." Nah, malah bagus, kan? Si kecil pun bisa mencar ilmu menabung dari ibunya, sekaligus mencar ilmu menahan diri untuk menunda keinginannya.
Sebaliknya, si pelit dalam arti tak mau berbagi, biasanya diwarnai posesivitas, yaitu harapan untuk mempunyai yang begitu kuat. Karakter ini sebetulnya dibawa dari masa 5 tahun pertama. "Bila pada tahap usia ini anak kelewat diatur-atur hingga terbiasa menahan segala keinginannya karena tak boleh ini maupun itu, ia berkembang jadi pribadi yang tak mau berbagi." Namun dengan usia terus bertambah, semestinya ia makin bisa membedakan miliknya dan milik orang lain, serta lebih bisa meminjam dan meminjamkan miliknya. Jangan malah keterusan, hingga sudah jadi ibu pun masih pelit enggak ketulungan.
3. TAK BETAH DI RUMAH
"Memang ada pribadi-pribadi yang tergolong outgoing alias tak betah di rumah ini," bilang Raymond. Yang model begini, suka sekali menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke mal dan menghambur-hamburkan uang. Padahal, kalau memang tujuannya mengisi waktu, kan, masih banyak kegiatan bermanfaat. Entah kursus menjahit, merangkai bunga, bahasa asing, dan sebagainya, yang lebih erat kaitannya dengan achievement. Sementara di rumah pun, rasanya tidak mungkin bila tak ada pekerjaan dijadikan alasan keluyuran. Bukankah mendampingi anak mencar ilmu atau memanfaatkan waktu bersama anak merupakan acara yang sangat bermanfaat ketimbang mereka seharian bersama pembantu?
Namun, ada pula yang tak betah di rumah karena merasa belum cukup dengan apa yang sudah dilakukannya di rumah. "Jadi, ia memang bisa mengisi waktu dengan pekerjaan rumah tangga tapi menginginkan lebih dari itu." Apalagi bila ia merasa kompeten dan berpeluang membina karir di luar karena punya keterampilan tertentu, tentu tak berlebihan kalau si ibu lantas meninggalkan rumah guna mewujudkan angan-angannya tadi. Bukan berarti ia enggak sayang pada anaknya, lo. Terlebih kalau anaknya sudah mulai besar dan tak perlu ditunggui setiap saat, nggak ada salahnya, kan, bila ia memanfaatkan waktunya untuk lebih mengaktualisasikan dirinya?
Ada juga, lo, istri-istri yang tak betah di rumah karena kesepian. Hingga, ia lantas mencari hiburan dengan keluyuran tak tentu arah. Tentu saja, sikap ini tak hanya terbatas pada ibu rumah tangga semata, melainkan juga para eksekutif. Terlebih 10 tahun terakhir ini, banyak orang pulang kantor bukannya ke rumah, malah jalan-jalan dulu ke kafe, pub, dan sejenisnya.
Nah, yang harus dicari ialah jawaban mengapa ia tak betah di rumah dan adakah sesuatu yang membuatnya begitu. Boleh jadi karena ia merasa harus tampil bagus atau menarik karena ia sudah bosan tampil seadanya setiap hari di rumah. Bisa jadi pula karena hubungannya dengan suami kurang memuaskan hingga ia butuh legalisasi dari orang lain. Atau, ia tak betah di rumah karena ingin menghindari keruwetan rumah tangga karena tak diajarkan/dibiasakan terampil memecahkan masalah, hingga yang ada hanya sekadar pelarian.
Kemungkinkan lain, ia cuma ingin pamer, "Nih, lo, gue!" untuk mendapat legalisasi sosial yang tinggi di ketika pertemuan-pertemuan rutin semacam arisan tak lagi dianggap memberinya kepuasan.
Alasan-alasan tersebut, berdasarkan Raymod, bisa dipahami sepanjang cuma untuk sementara waktu. Jadi, kalau cuma karena bosan tampil dengan daster butut di rumah lantas tiap hari keluyuran, ya, enggak bener, dong.
4. TUKANG NGOMEL
Pusing juga, ya, Pak, punya istri model ini. Sedikit saja ada yang nggak berkenan di hatinya, ia pribadi ngomel. Apalagi kalau ada yang bikin salah, omelannya bisa memekakkan telinga. Tak peduli siapa orang yang ia omeli, entah suami, anak, ataupun pembantu.
Menurut Raymond, huruf ini muncul bukan karena perempuan intinya memang cerewet, karena lelaki pun banyak yang cerewet. "Karakter ini lebih merupakan prosedur pertahanan untuk mengatakan dirinya semoga dihargai." Kasarnya, "Ini, lo, gue! Jangan anggap remeh gue, ya!'." Pasalnya, secara fisik, yang bersangkutan tak bisa menuntaskan masalahnya, hingga ditempuhlah cara dalam bentuk agresivitas yang dianggapnya paling kondusif dan terhormat ketimbang main lempar-banting piring.
Raymond melihat, mengomel merupakan bentuk agresivitas yang paling sering muncul karena orang merasa frustrasi. Pemicunya berupa situasi yang serba "mengurung" hingga ia merasa tak berdaya. "Kalau ada problem tapi enggak diselesaikan, pastinya, kan, bertumpuk. Nah, kalau ini selalu berulang, tentu sangat menjengkelkan dan terakumulasi. Apalagi kalau sudah dikasih tahu baik-baik tapi tetap tak ada perubahan, ya, akan memunculkan agresi."
Akan halnya cerewet, lebih disebabkan faktor kecemasan. Bukankah para ibu biasanya relatif lebih simpel cemas? Hingga, ketika si kecil pamit hendak main sepeda di depan rumah, misal, ibu pribadi membekalinya dengan segudang nasihat. Pendeknya, segala sesuatu bikin ia cemas. Bahkan, omongannya sendiri pun ia cemaskan, "Jangan-jangan omongan saya tadi enggak jelas," hingga bolak-balik ia omongin lagi hal yang sama hingga yang mendengarnya pun capek.
Cerewet, bilang Raymond, harus dibedakan dengan orang yang memang bahagia bicara. "Mereka kalau bicara kata-katanya lebih bermakna dan sistematis, bukan asal ngomong atau berkomentar asal nyeplos tapi betul-betul dipikirkan."
5. PENCEMBURU
Istri model ini amat posesif karena ia merasa tak aman. Coba telusuri lebih jauh penyebabnya hingga ke masa kecilnya, adakah ia punya pengalaman buruk. Soalnya, terang Raymond, "mereka yang punya pengalaman tak enak, berpotensi besar jadi cemburuan." Misal, apa yang ia miliki simpel hilang atau barang-barangnya yang dipinjam tak pernah kembali.
Kondisi kehidupan atau tuntutan kiprah yang "memaksa"nya sering berpindah tempat, juga bisa menjadi salah satu alasannya ialah munculnya huruf ini. Bukankah ia harus tercabut dari lingkungan usang yang sudah dekat dan selalu harus memulai dari awal lagi? "Nah, ini membuatnya merasa tak kondusif dan nyaman. Ia merasa segala yang telah dibina selalu sia-sia, hingga timbullah posesivitas dan keresahan tingkat tinggi." Akibatnya, terhadap suami pun, ia demikian; ia takut kehilangan orang yang dicintainya hingga ia punya kecemasan berlebihan kalau-kalau suaminya akan lepas juga darinya. Buntutnya, muncullah cemburu buta.
"Sebenarnya, istri atau suami cemburu itu, wajar, kok. Malah diharapkan untuk mengatakan verbal cinta dan perasaan memiliki," kata Raymond. Namun bila berlebihan, jadi tak wajar, karena sudah disertai kecurigaan dan ketidakpercayaan. Jelas ini enggak sehat dan niscaya mengundang konflik. Iya, kan, Bu-Pak?
6. SLORDIG
Buat mereka, keteraturan nggak terlalu penting. Itu sebab, mereka tak terusik sedikit pun kala melihat si kecil belum juga mandi padahal hari hampir magrib atau mendapat tas kerja suami ada di kawasan tidur, dan sebagainya. Bahkan, si kecil belum makan pun, tak jadi soal buatnya. "Toh, kalau lapar nanti juga minta makan," begitu pikirnya. Rumah berserakan juga ia tenang-tenang saja.
Jika pasangannya juga seirama, mungkin tak bakal jadi problem buat keduanya. Namun bila suaminya sangat teratur, bisa-bisa tiap hari ada "bom" meletus di rumah. Betapa tidak! Di mata si teratur, segala sesuatu harus serba rapi, dan sistematis, tak boleh melenceng sedikit pun. Mereka juga amat disiplin, cenderung mengatur dan mendominasi orang lain. Nggak heran, kan, kalau dua huruf yang bertolak belakang ini balasannya jadi sering konflik?
Apalagi, si slordig ini tipe orang yang cenderung menunda-nunda pekerjaan dan menggampangkan masalah. Baginya, hidup ini menyerupai air mengalir; segalanya berjalan biasa saja, tak ada yang harus dikejar. Umumnya karena ia tak punya ambisi dan aspirasi yang muluk. Nah, inilah yang harus ditumbuhkan dalam dirinya.
Menurut Raymond, ketiadaan ambisi dan aspirasi ini lebih disebabkan pandangan yang salah kaprah ihwal kiprah perempuan. "Di sini masih banyak, kan, yang mengganggap perempuan egois kalau ingin bersekolah lagi atau bekerja. Dianggapnya tak perhatian sama anak, lebih mementingkan diri sendiri, dan sebagainya." Dengan kata lain, label-label dari lingkunganlah yang menindas aspirasi wanita. Celakanya, kalau ia juga bersuamikan yang setipe dengan lingkungan tersebut, makin tenggelamlah aspirasinya.
7. GILA KERJA
Ini sudah lampu kuning, Pak. Soalnya, bisa jadi ada something wrong dengan kehidupan rumah tangga Anda berdua, hingga ia merasa tak nyaman, kemudian mencari kompensasi dengan bekerja dan mengejar prestasi di bidang lain. Meski tak tertutup kemungkinan kegilaannya bekerjasama dengan achievement atau ambisi mencapai sesuatu yang lebih. "Ia merasa ada yang kurang hingga harus mengejar untuk menutupi kekurangan itu," terang Raymond.
Bisa juga karena faktor-faktor teknis menyerupai kondisi kantor dan sistem kompensasi yang amat bagus, hingga orang terpacu untuk berkarier dan terus berkarier. Akibatnya, ia merasa lebih betah di kantor ketimbang di rumah, terlebih kalau kondisi rumah juga mendukungnya untuk "lari" ke kantor. Wong, di kantor lebih nyaman, kok. Ia merasa dihargai, mendapat kepercayaan dan kesempatan, jenjang kariernya jelas, dan situasi kerjanya pun menyenangkan.
Disamping, gila kerja juga didorong oleh kecenderungan untuk mempunyai uang pribadi semoga tak ada ketergantungan hemat pada suami. Umumnya, pertimbangan ekonomi cukup berpengaruh mendorong ibu-ibu untuk bekerja dan mengejar karier.
Sayang, reaksi orang-orang rumah, terutama suami, sering enggak sempurna semisal marah, menuduh, atau melecehkan, hingga yang kemudian muncul justru harapan lebih untuk bekerja dan terus bekerja. "Daripada di rumah cuma ribut terus, mending ke kantor," begitu yang ada di benaknya.
Menurut Raymond, secara kasat mata biasanya sulit dibedakan antara yang gila kerja karena memang betul-betul menikmati ataukah hanya sekadar pelarian. Pastinya, mereka yang potensial punya rasa rendah diri merasa menemukan legalisasi atau dianggap berharga dari dunia kerja. Terlebih kalau dari suami, ia lebih kerap mendengar kata-kata bernada menghina/melecehkan.
8. "PELAYAN SEJATI"
Masih banyak, lo, istri model ini. Penyebabnya, "faktor budaya," ujar Raymond. Bukankah budaya kita, terlebih jaman dulu, mendudukkan perempuan lebih rendah dari pria? Jadi, sedari kecil, perempuan sudah terbiasa kalah dan mengalah; dididik untuk selalu melayani, bukan dilayani. Hingga yang tertanam di benaknya, "Saya ada untuk melayani suami dan anak." Selain, perempuan memang punya naluri untuk merawat, hingga ada kecenderungan lebih mengutamakan suami dan anak.
Jika suami tergolong tipe yang bahagia dilayani, kloplah. Suami puas, istri pun merasa dirinya berharga. Namun buat suami yang lebih mementingkan diskusi antar anggota keluarga dan keterlibatan istri dalam pengambilan keputusan, tentulah sangat tak nyaman beristrikan model ini. Ia butuh istri yang bisa diajak ngobrol, bisa dimintai pendapat dan ide-idenya, bahkan bisa memutuskan apa yang terbaik buat suami kala si suami sudah kehabisan solusi untuk mengatasi masalahnya. Dalam bahasa lain, ia butuh pasangan yang setara. Nah, kalau kebutuhan ini tak diperoleh dari istrinya, bisa jadi ia akan mencarinya dari orang lain. Jika orang lain itu sejenis, mungkin nggak masalah. Namun bila berlainan jenis, apa nggak bakalan runyam nantinya?
Buat suami yang tak puas, saran Raymond, "komunikasikan dengan istri." Soalnya, istri model ini "tak punya" nyali buat ngomong duluan karena ia terbiasa menerima. Bukan tak mungkin sesudah diajak bicara, ternyata ia juga merasa tertekan dengan sikapnya yang demikian tapi tak berani mengutarakannya.
9. "TERSERAH MAS AJA, DEH."
Kalau yang ini lebih karena sedari kecil tak dibiasakan menentukan dan mengambil keputusan. Namun bisa juga karena suami kelewat lebih banyak didominasi atau boleh jadi ia punya pengalaman pahit/menyakitkan kala ikut menentukan pilihan semisal komentar suami yang melecehkan, "Selera Mama, kok, norak banget, sih?" atau "Ah, kau memang nggak pernah bisa dimintai pendapat, salah melulu." Istri sebaik dan sesabar apa pun niscaya akan terluka hatinya. Akhirnya, ia lebih menentukan membisu daripada harus sakit hati. Namun buntutnya, bisa jadi ia ngomel di belakang mengatakan kekecewaan, "Kok, gini, sih?"
Th. Puspayanti/nakita
Berbagai Sumber
1. BOROS
Coba lihat bagaimana huruf orang tuanya. Soalnya, kata psikolog Raymond A.I. Tambunan dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, mereka yang boros biasanya dibesarkan dari orang renta yang boros pula. "Jadi, semenjak kecil memang sudah terbiasa dengan teladan hidup boros." Umumnya lebih impulsif, yakni tak bisa menunda keinginan. Bila menginginkan sesuatu, ia niscaya pribadi membelinya. "Bukankah dari orang tuanya, ia selalu mendapat pemenuhan atas setiap yang diinginkannya?"
Kendati demikian, teladan asuh bukan satu-satunya yang membentuk seseorang berkembang jadi si boros. Ada juga, kok, yang dulunya hidup miskin, tapi sesudah cukup umur jadi boros. "Kalau kini ia hidup bergelimang harta karena berhasil mencapai pendidikan tinggi hingga punya karir dan penghasilan bagus, tentunya apa pun yang ia inginkan bisa dibelinya dengan simpel hingga membentuknya jadi pribadi yang boros." Jadi, sikap borosnya lebih merupakan kompensasi masa kecilnya yang serba susah.
Tentu saja, si pemboros tak mengenal budaya menabung. Terlebih si boros yang merupakan "produk" dari orang renta boros. Di benaknya yang ada cuma bagaimana menghabiskan uang yang diperolehnya. Celaka, kan? Bisa-bisa tiap menjelang simpulan bulan suami harus ekstra cari pelengkap untuk menutupi kekurangan belanja. Atau, bisa jadi suami kemudian menjatah uang belanja per ahad atau malah per hari. Kalau sudah begitu, bakalan "perang", deh.
2. PELIT
Kayaknya huruf ini sudah menjadi semacam trade mark kaum ibu. Bukankah para ibu lebih suka berkeliling pasar menawar ke sana ke mari demi mendapatkan harga termurah? Orang luar boleh saja berkomentar, "Kok, mau beli gitu aja mesti dihitung-hitung banget? Berapa, sih, selisih harganya? Apa enggak capek buang-buang energi?"
Padahal, ibu-ibu model ini belum tentu pelit, lo. Siapa tahu ia cuma bermaksud hemat. Apalagi secara sosiologis, terang Raymond, ibu-ibu di negeri kita umumnya bertanggung jawab pegang keuangan keluarga, sementara suami bertugas mencari nafkah. "Nah, sebagai menejer keuangan keluarga, tentu ia harus pandai-pandai mengatur keuangan keluarganya, bukan? Itu sebab, perbedaan-perbedaan harga yang oleh orang luar dinilai sepele, bagi si ibu sangat berarti." Terlebih bila ia memperhitungkannya berdasarkan akumulasi atau penjumlahan. Coba, gimana jadinya bila belanja keluarga tekor? Ibu juga, kan, yang biasanya dituduh tak becus pegang uang? Sementara bapak dan anak biasanya enggak mau tahu. Mereka cuma tahu beres aaja karena tak mau kelewat njlimet memperhitungkan perbedaan-perbedaan harga tadi.
Makara kalau pelitnya dalam arti hemat, dipahami aja, deh, Pak. Ketimbang punya istri boros yang bisanya cuma menghambur-hamburkan uang melulu. Iya, kan? Apalagi, "biasanya huruf pelit yang hemat ini lebih dimunculkan oleh kondisi tertentu semisal terbiasa menjalani kehidupan serba susah dari sudut ekonomi, hingga ia harus menabung dulu untuk mendapatkan yang diinginkannya." Nah, malah bagus, kan? Si kecil pun bisa mencar ilmu menabung dari ibunya, sekaligus mencar ilmu menahan diri untuk menunda keinginannya.
Sebaliknya, si pelit dalam arti tak mau berbagi, biasanya diwarnai posesivitas, yaitu harapan untuk mempunyai yang begitu kuat. Karakter ini sebetulnya dibawa dari masa 5 tahun pertama. "Bila pada tahap usia ini anak kelewat diatur-atur hingga terbiasa menahan segala keinginannya karena tak boleh ini maupun itu, ia berkembang jadi pribadi yang tak mau berbagi." Namun dengan usia terus bertambah, semestinya ia makin bisa membedakan miliknya dan milik orang lain, serta lebih bisa meminjam dan meminjamkan miliknya. Jangan malah keterusan, hingga sudah jadi ibu pun masih pelit enggak ketulungan.
3. TAK BETAH DI RUMAH
"Memang ada pribadi-pribadi yang tergolong outgoing alias tak betah di rumah ini," bilang Raymond. Yang model begini, suka sekali menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke mal dan menghambur-hamburkan uang. Padahal, kalau memang tujuannya mengisi waktu, kan, masih banyak kegiatan bermanfaat. Entah kursus menjahit, merangkai bunga, bahasa asing, dan sebagainya, yang lebih erat kaitannya dengan achievement. Sementara di rumah pun, rasanya tidak mungkin bila tak ada pekerjaan dijadikan alasan keluyuran. Bukankah mendampingi anak mencar ilmu atau memanfaatkan waktu bersama anak merupakan acara yang sangat bermanfaat ketimbang mereka seharian bersama pembantu?
Namun, ada pula yang tak betah di rumah karena merasa belum cukup dengan apa yang sudah dilakukannya di rumah. "Jadi, ia memang bisa mengisi waktu dengan pekerjaan rumah tangga tapi menginginkan lebih dari itu." Apalagi bila ia merasa kompeten dan berpeluang membina karir di luar karena punya keterampilan tertentu, tentu tak berlebihan kalau si ibu lantas meninggalkan rumah guna mewujudkan angan-angannya tadi. Bukan berarti ia enggak sayang pada anaknya, lo. Terlebih kalau anaknya sudah mulai besar dan tak perlu ditunggui setiap saat, nggak ada salahnya, kan, bila ia memanfaatkan waktunya untuk lebih mengaktualisasikan dirinya?
Ada juga, lo, istri-istri yang tak betah di rumah karena kesepian. Hingga, ia lantas mencari hiburan dengan keluyuran tak tentu arah. Tentu saja, sikap ini tak hanya terbatas pada ibu rumah tangga semata, melainkan juga para eksekutif. Terlebih 10 tahun terakhir ini, banyak orang pulang kantor bukannya ke rumah, malah jalan-jalan dulu ke kafe, pub, dan sejenisnya.
Nah, yang harus dicari ialah jawaban mengapa ia tak betah di rumah dan adakah sesuatu yang membuatnya begitu. Boleh jadi karena ia merasa harus tampil bagus atau menarik karena ia sudah bosan tampil seadanya setiap hari di rumah. Bisa jadi pula karena hubungannya dengan suami kurang memuaskan hingga ia butuh legalisasi dari orang lain. Atau, ia tak betah di rumah karena ingin menghindari keruwetan rumah tangga karena tak diajarkan/dibiasakan terampil memecahkan masalah, hingga yang ada hanya sekadar pelarian.
Kemungkinkan lain, ia cuma ingin pamer, "Nih, lo, gue!" untuk mendapat legalisasi sosial yang tinggi di ketika pertemuan-pertemuan rutin semacam arisan tak lagi dianggap memberinya kepuasan.
Alasan-alasan tersebut, berdasarkan Raymod, bisa dipahami sepanjang cuma untuk sementara waktu. Jadi, kalau cuma karena bosan tampil dengan daster butut di rumah lantas tiap hari keluyuran, ya, enggak bener, dong.
4. TUKANG NGOMEL
Pusing juga, ya, Pak, punya istri model ini. Sedikit saja ada yang nggak berkenan di hatinya, ia pribadi ngomel. Apalagi kalau ada yang bikin salah, omelannya bisa memekakkan telinga. Tak peduli siapa orang yang ia omeli, entah suami, anak, ataupun pembantu.
Menurut Raymond, huruf ini muncul bukan karena perempuan intinya memang cerewet, karena lelaki pun banyak yang cerewet. "Karakter ini lebih merupakan prosedur pertahanan untuk mengatakan dirinya semoga dihargai." Kasarnya, "Ini, lo, gue! Jangan anggap remeh gue, ya!'." Pasalnya, secara fisik, yang bersangkutan tak bisa menuntaskan masalahnya, hingga ditempuhlah cara dalam bentuk agresivitas yang dianggapnya paling kondusif dan terhormat ketimbang main lempar-banting piring.
Raymond melihat, mengomel merupakan bentuk agresivitas yang paling sering muncul karena orang merasa frustrasi. Pemicunya berupa situasi yang serba "mengurung" hingga ia merasa tak berdaya. "Kalau ada problem tapi enggak diselesaikan, pastinya, kan, bertumpuk. Nah, kalau ini selalu berulang, tentu sangat menjengkelkan dan terakumulasi. Apalagi kalau sudah dikasih tahu baik-baik tapi tetap tak ada perubahan, ya, akan memunculkan agresi."
Akan halnya cerewet, lebih disebabkan faktor kecemasan. Bukankah para ibu biasanya relatif lebih simpel cemas? Hingga, ketika si kecil pamit hendak main sepeda di depan rumah, misal, ibu pribadi membekalinya dengan segudang nasihat. Pendeknya, segala sesuatu bikin ia cemas. Bahkan, omongannya sendiri pun ia cemaskan, "Jangan-jangan omongan saya tadi enggak jelas," hingga bolak-balik ia omongin lagi hal yang sama hingga yang mendengarnya pun capek.
Cerewet, bilang Raymond, harus dibedakan dengan orang yang memang bahagia bicara. "Mereka kalau bicara kata-katanya lebih bermakna dan sistematis, bukan asal ngomong atau berkomentar asal nyeplos tapi betul-betul dipikirkan."
5. PENCEMBURU
Istri model ini amat posesif karena ia merasa tak aman. Coba telusuri lebih jauh penyebabnya hingga ke masa kecilnya, adakah ia punya pengalaman buruk. Soalnya, terang Raymond, "mereka yang punya pengalaman tak enak, berpotensi besar jadi cemburuan." Misal, apa yang ia miliki simpel hilang atau barang-barangnya yang dipinjam tak pernah kembali.
Kondisi kehidupan atau tuntutan kiprah yang "memaksa"nya sering berpindah tempat, juga bisa menjadi salah satu alasannya ialah munculnya huruf ini. Bukankah ia harus tercabut dari lingkungan usang yang sudah dekat dan selalu harus memulai dari awal lagi? "Nah, ini membuatnya merasa tak kondusif dan nyaman. Ia merasa segala yang telah dibina selalu sia-sia, hingga timbullah posesivitas dan keresahan tingkat tinggi." Akibatnya, terhadap suami pun, ia demikian; ia takut kehilangan orang yang dicintainya hingga ia punya kecemasan berlebihan kalau-kalau suaminya akan lepas juga darinya. Buntutnya, muncullah cemburu buta.
"Sebenarnya, istri atau suami cemburu itu, wajar, kok. Malah diharapkan untuk mengatakan verbal cinta dan perasaan memiliki," kata Raymond. Namun bila berlebihan, jadi tak wajar, karena sudah disertai kecurigaan dan ketidakpercayaan. Jelas ini enggak sehat dan niscaya mengundang konflik. Iya, kan, Bu-Pak?
6. SLORDIG
Buat mereka, keteraturan nggak terlalu penting. Itu sebab, mereka tak terusik sedikit pun kala melihat si kecil belum juga mandi padahal hari hampir magrib atau mendapat tas kerja suami ada di kawasan tidur, dan sebagainya. Bahkan, si kecil belum makan pun, tak jadi soal buatnya. "Toh, kalau lapar nanti juga minta makan," begitu pikirnya. Rumah berserakan juga ia tenang-tenang saja.
Jika pasangannya juga seirama, mungkin tak bakal jadi problem buat keduanya. Namun bila suaminya sangat teratur, bisa-bisa tiap hari ada "bom" meletus di rumah. Betapa tidak! Di mata si teratur, segala sesuatu harus serba rapi, dan sistematis, tak boleh melenceng sedikit pun. Mereka juga amat disiplin, cenderung mengatur dan mendominasi orang lain. Nggak heran, kan, kalau dua huruf yang bertolak belakang ini balasannya jadi sering konflik?
Apalagi, si slordig ini tipe orang yang cenderung menunda-nunda pekerjaan dan menggampangkan masalah. Baginya, hidup ini menyerupai air mengalir; segalanya berjalan biasa saja, tak ada yang harus dikejar. Umumnya karena ia tak punya ambisi dan aspirasi yang muluk. Nah, inilah yang harus ditumbuhkan dalam dirinya.
Menurut Raymond, ketiadaan ambisi dan aspirasi ini lebih disebabkan pandangan yang salah kaprah ihwal kiprah perempuan. "Di sini masih banyak, kan, yang mengganggap perempuan egois kalau ingin bersekolah lagi atau bekerja. Dianggapnya tak perhatian sama anak, lebih mementingkan diri sendiri, dan sebagainya." Dengan kata lain, label-label dari lingkunganlah yang menindas aspirasi wanita. Celakanya, kalau ia juga bersuamikan yang setipe dengan lingkungan tersebut, makin tenggelamlah aspirasinya.
7. GILA KERJA
Ini sudah lampu kuning, Pak. Soalnya, bisa jadi ada something wrong dengan kehidupan rumah tangga Anda berdua, hingga ia merasa tak nyaman, kemudian mencari kompensasi dengan bekerja dan mengejar prestasi di bidang lain. Meski tak tertutup kemungkinan kegilaannya bekerjasama dengan achievement atau ambisi mencapai sesuatu yang lebih. "Ia merasa ada yang kurang hingga harus mengejar untuk menutupi kekurangan itu," terang Raymond.
Bisa juga karena faktor-faktor teknis menyerupai kondisi kantor dan sistem kompensasi yang amat bagus, hingga orang terpacu untuk berkarier dan terus berkarier. Akibatnya, ia merasa lebih betah di kantor ketimbang di rumah, terlebih kalau kondisi rumah juga mendukungnya untuk "lari" ke kantor. Wong, di kantor lebih nyaman, kok. Ia merasa dihargai, mendapat kepercayaan dan kesempatan, jenjang kariernya jelas, dan situasi kerjanya pun menyenangkan.
Disamping, gila kerja juga didorong oleh kecenderungan untuk mempunyai uang pribadi semoga tak ada ketergantungan hemat pada suami. Umumnya, pertimbangan ekonomi cukup berpengaruh mendorong ibu-ibu untuk bekerja dan mengejar karier.
Sayang, reaksi orang-orang rumah, terutama suami, sering enggak sempurna semisal marah, menuduh, atau melecehkan, hingga yang kemudian muncul justru harapan lebih untuk bekerja dan terus bekerja. "Daripada di rumah cuma ribut terus, mending ke kantor," begitu yang ada di benaknya.
Menurut Raymond, secara kasat mata biasanya sulit dibedakan antara yang gila kerja karena memang betul-betul menikmati ataukah hanya sekadar pelarian. Pastinya, mereka yang potensial punya rasa rendah diri merasa menemukan legalisasi atau dianggap berharga dari dunia kerja. Terlebih kalau dari suami, ia lebih kerap mendengar kata-kata bernada menghina/melecehkan.
8. "PELAYAN SEJATI"
Masih banyak, lo, istri model ini. Penyebabnya, "faktor budaya," ujar Raymond. Bukankah budaya kita, terlebih jaman dulu, mendudukkan perempuan lebih rendah dari pria? Jadi, sedari kecil, perempuan sudah terbiasa kalah dan mengalah; dididik untuk selalu melayani, bukan dilayani. Hingga yang tertanam di benaknya, "Saya ada untuk melayani suami dan anak." Selain, perempuan memang punya naluri untuk merawat, hingga ada kecenderungan lebih mengutamakan suami dan anak.
Jika suami tergolong tipe yang bahagia dilayani, kloplah. Suami puas, istri pun merasa dirinya berharga. Namun buat suami yang lebih mementingkan diskusi antar anggota keluarga dan keterlibatan istri dalam pengambilan keputusan, tentulah sangat tak nyaman beristrikan model ini. Ia butuh istri yang bisa diajak ngobrol, bisa dimintai pendapat dan ide-idenya, bahkan bisa memutuskan apa yang terbaik buat suami kala si suami sudah kehabisan solusi untuk mengatasi masalahnya. Dalam bahasa lain, ia butuh pasangan yang setara. Nah, kalau kebutuhan ini tak diperoleh dari istrinya, bisa jadi ia akan mencarinya dari orang lain. Jika orang lain itu sejenis, mungkin nggak masalah. Namun bila berlainan jenis, apa nggak bakalan runyam nantinya?
Buat suami yang tak puas, saran Raymond, "komunikasikan dengan istri." Soalnya, istri model ini "tak punya" nyali buat ngomong duluan karena ia terbiasa menerima. Bukan tak mungkin sesudah diajak bicara, ternyata ia juga merasa tertekan dengan sikapnya yang demikian tapi tak berani mengutarakannya.
9. "TERSERAH MAS AJA, DEH."
Kalau yang ini lebih karena sedari kecil tak dibiasakan menentukan dan mengambil keputusan. Namun bisa juga karena suami kelewat lebih banyak didominasi atau boleh jadi ia punya pengalaman pahit/menyakitkan kala ikut menentukan pilihan semisal komentar suami yang melecehkan, "Selera Mama, kok, norak banget, sih?" atau "Ah, kau memang nggak pernah bisa dimintai pendapat, salah melulu." Istri sebaik dan sesabar apa pun niscaya akan terluka hatinya. Akhirnya, ia lebih menentukan membisu daripada harus sakit hati. Namun buntutnya, bisa jadi ia ngomel di belakang mengatakan kekecewaan, "Kok, gini, sih?"
Th. Puspayanti/nakita